Kontekstualisasi Perkaderan IPM Dalam Mewujudkan Human Character
Oleh:
Neni Nurhayati
( Ketua Bidang Advokasi PW IPM Jawa Barat)
Sepanjang kelahirannya sampai saat ini Ikatan Pelajar Muhammadiyah mengalami pasang surut, khususnya pada dunia perkaderan. Hal itu dapat diilhami sebagai proses dinamika dari pelbagai perubahan gerakan, khususnya gerakan pelajar (student movement) yang tidak akan pernah mati terkurung ombak. Artinya dinaminasi gerakan pelajar tersebut dari waktu ke waktu terus berubah, maka untuk untuk mengurangi nilai degradasi, khususnya pada dunia pelajar, diperlukan suatu perangkat atau alat yang bisa meneguhkan dan menciptakan pelajar sebagai sosok manusia sejati.
Dunia pelajar memang selalu menjadi tontonan yang menarik, pemberitaan yang aktual, dan selalu diperbincangkan oleh banyak kalangan dari mulai kalangan aktivis sampai kalangan birokrat. Berbagai persoalan yang melanda pelajar pun tak kan bisa teratasi dengan cara belajar di sekolah dan bersifat pada praktis-tradisional. Kasus yang menarik akhir-akhir ini adalah kekerasan antar pelajar, dinama pelajar saling berkelahi demi mewujudkan eksistensinya sebagai kekuatan superior, tak ayal, korban pun berjatuhan secara beruntun dari mulai pemukulan sampai menimbulkan percikan darah. Di Bandung, misalnya, sebagian pelajar ikut bergabung dengan Geng Motor yang selalu menjadi keresahan warga/masyarakat dengan aksi brutalnya. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kekerasan di tingkat pelajar masih tinggi, sehingga perlu ada suatu upaya atau solusi untuk memecahkan persoalan tersebut, salah satu diantaranya adalah pendidikan karakter.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi otonom Muhammadiyah perlu menciptakan gagasan-gagasan pemikiran perkaderan yang selama ini cenderung kekakuan dalam dunia perkaderan, dan disatu sisi ada semacam ke-amburadul-an dalam me-manage perkaderan. Yang pertama, ke-kaku-an terjadi karena cenderung terbelenggu oleh aspek yang sifatnya procedural sehingga ruang gerak pengader menjadi sempit dan pada gilirannya akan menghambat laju pertumbuhan kader, hal seperti ini mesti disikapi secara fleksibel dan arif. Dan yang kedua adalah ke-amburadul-an dalam me-manage perkaderan biasanya berkisar pada persoalan profesionalisme dan tanggung jawab para pengader.
Ada beberapa pertanyaan yang mesti diajukan sebelum memulai renovasi perkaderan di tubuh IPM, diantaranya : apakah Taruna Melati I, II, III, dan TMU masih sesuai dengan kebutuhan pelajar hari ini? Apakah manfaat yang didapat jika pelajar mengikuti perkaderan yang diadakan oleh PW IPM Jabar? Atau apa untungnya menjadi kader IPM? Pertanyaan barusan harus menjadi catatan penting kala saat ini IPM memerlukan eksistensi dan kualitas kader dalam upaya mewujudkan tujuan organisasi. Inilah kebutuhan IPM saat ini, kala IPM dijadikan sebagai alat atau panggung politik dengan kekuasaan individu yang tak terkendali, yang bisa jadi hal itu sangat merugikan IPM.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terjadi pergeseran tradisi (cara pandang terhadap masa lalu, kini dan akan datang) yang sangat dipengaruhi oleh 2 faktor yakni liberalisasi wacana dan alur kesejarahan yang melingkupi. Dimana faktor pertama, liberalisasi wacana merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, karena dipengaruhi oleh cara pandang yang semakin beragam guna menyikapi ruang keterbukaan yang semakin luas (kebebasan berpikir), sehingga akan ada kecendrungan bahwa suatu gerakan akan dapat mempertahankan dirinya (tetap eksis) jika menemukan sebentuk cara berpikir baru hasil dari persentuhan antara tradisi berpikir kemarin dan hari ini, dan faktor kedua, alur kesejarahan yang melingkupi adalah menyangkut pada perubahan orientasi dari semua gerakan yang pro perubahan, dimana dominasi wilayah politik-struktural yang menjadi mainstream gerakan pada saat ini tidak lagi efektif untuk dijadikan arah gerak, melainkan pada wilayah social-kultural.
Paradigma Berpikir Kritis IPM
Berpikir kritis merupakan suatu proses upaya pewarisan nilai-nilai yang sering disebut proses transformasi yang menyangkup segala aspek “yang seharusnya” tetapi di sisi lain hanya melangsungkan proses pada satu sisi saja, itulah yang di khawatirkan dalam proses berpikir. Kesadaran ini mengilhami IPM dalam melaksanakan proses perkaderannya, dimana berpikir kritis menjadi acuan dalam palaksanaan perkaderan. Kalau melihat secara fitrah, manusia diciptakan dengan keadaan suci, sehingga untuk mengembangkannya memerlukan pendidikan, baik formal maupun non formal. Dengan mengenyam pendidikan setidaknya manusia, dalam hal ini kader IPM bisa hidup lebih survive dalam menghadapi realitas kekinian.
Pendidikan merupakan usaha agar seorang manusia dapat mengambangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran melalui berbagai cara baik itu pendidikan formal, pendidikan informal maupun non formal. Pergaulan dalam pendidikan sendiri perlu adanya acuan dan arahan yang jelas agar dapat memfungsikan ilmu yang didapat dari pendidikanya..Islam sebagai agama sekaligus sebagai acuan untuk anutan dengan berpijak pada Al Quran dan al Hadits juga perlu memberikan kontribusi kepada pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai aturan islam. Pendidikan nasional sendiri berfungsi sebagai pengembangan kemampuan dan pembentuk watak serta peradaban bangsa yang bermaratabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sesuai dengan tujuannya.
Dalam praktiknya agama sendiri merupakan keyakinan (belief) dogma tradisi, praktik dan ritual. Dengan realitas tersebut doktrin dan berbagai warisan ajaran tersebut sangat riskan bila dikaitkan dengan hubungan sosial keagamaan di negara majemuk ini dan bisa-bisa menjadi biang keladi masalah baru, dan ini juga tergantung orang yang memahami keagamaan apakan secara sempit atau secara luas (holistik). Islam mengajarkan konsep universalitas untuk terbuka terhadap segala hal, dalam bidang pendidikan perlunya penguatan kembali nilai-nilai islam dan perlunya rekonstruksi paradigma kritis-inovatif upaya menegaskan harmonisasi dan dialog.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan pelajar Islam, tentunya memiliki otentikasi tersendiri dalam memahami Islam sebagai konstruksi sosial, Islam sebagai gerakan moral, dan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Hal ini sudah menjadi watak bagi IPM dalam memahami realitas kemanusiaan (humanity) atas tafsir dari manifestasi Al-Quran dan Hadits. Pedoman inilah yang akan menjadi bekal dan landasan gerak IPM dalam menjalankan roda organisasi yang bersifat pada kritisisme gerakan dan berpikir kritis IPM.
Mewujudkan Human Character dalam Perkaderan
Orientasi dari Kementerian Pendidikan Nasional di bawah komando Prof Nuh kepada pendidikan karakter agaknya sudah tepat, karena problem utama bangsa Indonesia sekarang ini pada hakikatnya bukanlah soal intelektual, melainkan moral yang berpangkal pada karakter. Soal intelektual tidaklah perlu terlalu diperdebatkan dalam ruang yang panjang, karena hampir setiap tahunnya, Indonesia memiliki para pejuang baru dalam memperebutkan medali olimpiade, baik kimia, fisika, matematika, maupun olimpiade yang lainnya. Namun, yang perlu diperhatikan secara lebih serius adalah problem moral, seperti korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, kriminalitas, dan bahkan terorisme.
Satu contoh riil dari kurikulum misalnya adalah ketika siswa belajar menyontek di sekolah, belajar tidak jujur, dan bahkan mahasiswa belajar korupsi di kampus. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa kultur yang berlaku di sekolah dan kampus, baik dalam komunikasi, interaksi, cara menyikapi aturan birokrasi dan lainnya itulah kurikulum tersembunyi yang turut membentuk nalar pikir dan sikap pelajar.
Di sinilah mestinya, upaya untuk membangun karakter pelajar, dalam rangka mereduksi problem sosial (misal: korupsi, terorisme, ketidakjujuran, pornoaksi) lebih berdasar. Pedagogi kritik memang identik dengan gagasan Freire, Apple, McLaren, Giroux dan kawan-kawannya di Barat. Namun bukan berarti di Indonesia tidak terdapat gagasan dan praksis pedagogi kritis. Setidaknya dengan membuka kembali literatur Tan Malaka dengan Sekolah Rakjatnya di Semarang, juga Ki Hadjar dengan Taman Siswa di Yogyakarta, adalah bentuk gagasan dan praksis pendidikan kritis pada waktu itu. Bahkan jauh sebelum Freire mempraktikkan dan menuliskan Pedagogy of the Opressed (1970). Tentu saja konteks, nuansa, dan dasar filosofinya berbeda, namun bagi saya tetap dalam satu karakter yang sama: kritis dengan tujuan utama adalah untuk menumbuhkan kesadaran kritis pada pelajar. Tentunya, folosofi ini menjadi mainstream gerakan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Dalam konteks problem moral di sini, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa di sekolah, kampus, media, masyarakat dan bahkan keluarga seringkali terjadi praktik penanaman nilai-nilai ketidakjujuran, korupsi dsb. Hal tersebut kemudian perlu dilanjutkan dengan upaya membangun kesadaran ada diri pelajar untuk dapat melihat dan menilai secara kritis atas korupsi dan problem sosial sejenisnya. Dua kata kunci yang digunakan dalam pedagogi kritis untuk membangun kesadaran kritis diri tersebut adalah dialog dan pelibatan sosial, bukan indoktrinasi ideologis. Dengan pendekatan ini, maka diharapkan kesadaran untuk menolak nalar dan praktik korupsi misalnya, muncul dari dirinya sendiri. Hal ini tentu justru lebih kuat sebagai basis argumentasi dan alasan untuk menolak korupsi, tidak jujur, terorisme dan lainnya.
Dengan pedagogi kritis, dialog yang demokratis dan kritis digunakan untuk mengasah nalar kritis pelajar, sedangkan pelibatan sosial digunakan sebagai penguat argumentasi dengan melihat fakta-fakta sosio-kultural akibat dari korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, dan sejenisnya yang nyata. Selain itu, karakter (berupa nalar pikir, sikap dan aksi seseorang) pada dasarnya memang lebih mudah dibangun dengan aksi nyata, dalam pedagogi kritis adalah pelibatan sosial, bukan semata-mata dengan cara belajar di kelas. Satu prinsip pedagogi kritis dari Freire, Ki Hadjar dan Tan Malaka yang harus digunakan adalah: jangan mencerabut pelajar dari kehidupan rakyatnya, masyarakatnya.
Dengan kata lain sekolah pun jangan dianggap sebagai institusi sosial yang terlepas dari masyarakat. Di sinilah juga pertanyaan mengenai apa dasar sosio-kultural-ideologis pendidikan karakter terjawab, yakni dasarnya adalah kondisi dan fakta sosial, kultural, dan ideologis yang berlangsung di masyarakat itu sendiri. memang tidak dapat dipungkiri bahwa juga terdapat fakta juga dari pernyataan bahwa korupsi telah menjadi kultur di masyarakat. Justru karena itu, nalar kritis dari pedagogi kritis harus dikedepankan sebagai pisau analisis untuk menilai semua fakta sosial, kultural, dan ideologi di masyarakat; siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, apa akibatnya secara psikologis, sosiologis, kultural, ekonomi, politik dan lainnya.
Dengan begitu kesadaran kritis pelajar akan terbangun dari dalam diri mereka sendiri, karena mereka belajar dari fakta yang riil, dari kehidupan yang mereka turut terlibat dan punya kepentingan di dalamnya secara nyata. Tanpa pedagogi kritis yang fokus pada upaya membangun kesadaran kritis pelajar, maka kemungkinan besar upaya pendidikan karakter hanya menjadi slogan, jargon, dan doktrin besar, tapi minim bukti nyata.
Kembali pada konsepsi bagaimana mambangun perkaderan dengan mangutamakan nilai dalam kehidupan. Setidaknya, IPM harus memiliki tiga kata kunci dalam rencana strategis perkaderan (suatu usaha dalam mewujudkan Human Character) tersebut: pelaku gerakan; ideologi gerakan Muhammadiyah; dan sistem kaderisasi. Khusus yang diistilahkan dengan ”pelaku gerakan” cakupan subjeknya terdiri dari: pemimpin, kader, dan anggota. Dalam ruang lingkup dan dinamika gerakan IPM, maka secara organisatoris ketiga subjek tersebut saling membutuhkan dan pengaruh-mempengaruhi. Misalnya, seorang pemimpin pasti membutuhkan anggota, baik sebagai basis legitimasi kepemimpinan maupun untuk kepentingan pelibatan mereka dalam berbagai program dan agenda kerja yang sudah dirancang. Terlebih lagi posisi kader, maka keberadaannya juga lebih strategis dan menentukan bagi bagi kemajuan organisasi. Nilai lebih ini karena kader menempati posisi signifikan di antara pemimpin dan anggota: sebagai tenaga pendukung tugas pemimpin serta menjadi penggerak dan pendinamis aktivitas partisipatif anggota/warga.
Secara etimologis, kader (bahasa Perancis: cadre) merupakan bagian inti, pusat atau bagian terpilih yang terlatih. Dalam bahasa Latin adalah quadrum, yang berarti empat persegi panjang, bujur sangkar atau kerangka yang kokoh. Dengan demikian kader merupakan kelompok elite strategis dan terlatih yang samapta dengan kecakapan, kualifikasi dan nilai-nilai lebih yang harus dimilikinya.
Untuk menjadi kader seperti dalam pengertiannya tadi tentu tidak bisa terwujud secara instant dan begitu saja. Terbentuknya sosok kader seperti itu adalah melalui penempaan dalam latihan dan proses didik diri yang berkelanjutan di tempat perkaderan, baik yang dikategorikan sebagai perkaderan utama maupun fungsional. Forum perkaderan sebagai wahana didik yang intensif, bisa dijadikan ajang untuk menyeleksi kader dalam kualitas dan kualifikasinya, termasuk untuk menilai potensi dan kapasitas kepemimpinannya, katakanlah dengan mengadakan pelatihan Taruna Melati I, II, II, dan TM Utama, maupun fasilitator. Dengan begitu, intensitas kaderisasi yang dilakukan oleh IPM menjadi berbobot untuk menciptakan kader yang berkualitas.
Kader yang berkualitas dan proses kaderisasi yang mapan melahirkan regenerasi dan alih estafeta kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Sekaligus dengan upaya itu pula regenerasi yang bertumpu pada kaderisasi dapat menjamin kesinambungan dan pengembangan organisasi di masa depan secara dinamis, sesuai dengan ideologi dan identitasnya yang dikontekstualisasikan untuk menjawab tuntutan dan perubahan zaman.
Kebutuhan akan sosok kader dan pemimpin yang amanah dan cakap serta model kepemimpinan yang responsif dan partisipatoris, bukan saja karena kebutuhan intern IPM. Berbagai tantangan juga tidak lepas dari konstelasi dinamis dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa saat ini IPM membutuhkan kaderisasi dengan konsep Human Character. Konsep tersebut sangat tepat, yakni sesuai dengan tujuan IPM. Dengan melihat kondisi internal dan gejolak pelajar saat ini, maka salah satu solusi untuk mengantisipasi terjadinya degradasi moral secara massif, perlu melakukan suatu usaha yang benar-benar konsisten dan fokus pada pencapaian orientasi nilai-nilai pembaharu kader Muhammadiyah, tentunya dengan memanfaatkan pelatihan-pelatihan formal maupun non formal dalam membentuk pemikiran kritis dan manusia yang berkarakter.