Rabu, 30 November 2011

IPM: Perketat Pengawasan Ujian Nasional


REPUBLIKA.CO.ID,  BANDUNG -- Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Jawa Barat mendesak agar pemerintah meningkatkan  pengawasan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) 2012.  Menurut Ketua Advokasi Pimpinan Wilayah IPM Jawa Barat, Neni Nur Hayati, pengawasan yang lebih ketat diperlukan untuk menghindari terjadinya kecurangan, baik dari pihak sekolah maupun siswa.

“Pengawasan adalah tindakan yang efektif guna meminimalisir kecurangan, baik di sekolah maupun di luar,'' ungkap Neni dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (10/3). UN 2012 rencananya akan digelar pada 16 – 19 April mendatang. 

Menurut dia, penyelenggaraan UN kerap diwarnai kecurangan. Banyak sekolah yang diduga melakukan kecurangan demi menjaga citra sekolahnya. IPM Jawa Barat menegaskan semua sekolah harus menerapkan praktik kejujuran dalam UN. ''Praktik kejujuran harus dimulai dari sekolah sebagai basis utama pendidikan,'' tutur Neni.
 
Pihaknya mengimbau  pihak sekolah yang menjadi pelaksana UN tahun ini agar benar–benar bersikap jujur dan transparan. Pihak sekolah juga diminta tidak melakukan pungutan kepada siswa dalam bentuk apapun, termasuk ketika pengambilan  Surat Tanda Tamat Belajar ( STTB) maupun legalisir ijazah.
 
''Kami merasa khawatir persoalan pungutan ini masih tetap terjadi, terutama terhadap legalisir, meskipun pemerintah melalui Dinas Pendidikan sendiri secara tegas telah menyatakan pihak sekolah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun terhadap siswa terkait UN, karena segala biaya sudah ditanggung oleh negara,'' ungkapnya.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber: siaran pers
Diambil dari : Republika

Senin, 10 Oktober 2011

Kontekstualisasi Perkaderan IPM Dalam Mewujudkan Human Character


Kontekstualisasi Perkaderan IPM Dalam Mewujudkan Human Character
Oleh:
Neni Nurhayati
( Ketua Bidang Advokasi PW IPM Jawa Barat)


Sepanjang kelahirannya sampai saat ini Ikatan Pelajar Muhammadiyah  mengalami pasang surut, khususnya pada dunia perkaderan. Hal itu dapat diilhami sebagai proses dinamika dari pelbagai perubahan gerakan, khususnya gerakan pelajar (student movement) yang tidak akan pernah mati terkurung ombak. Artinya dinaminasi gerakan pelajar tersebut dari waktu ke waktu terus berubah, maka untuk untuk mengurangi nilai degradasi, khususnya pada dunia pelajar, diperlukan suatu perangkat atau alat yang bisa meneguhkan dan menciptakan pelajar sebagai sosok manusia sejati.
Dunia pelajar memang selalu menjadi tontonan yang menarik, pemberitaan yang aktual, dan selalu diperbincangkan oleh banyak kalangan dari mulai kalangan aktivis sampai kalangan birokrat. Berbagai persoalan yang melanda pelajar pun tak kan bisa teratasi dengan cara belajar di sekolah dan bersifat pada praktis-tradisional. Kasus yang menarik akhir-akhir ini adalah kekerasan antar pelajar, dinama pelajar saling berkelahi demi mewujudkan eksistensinya sebagai kekuatan superior, tak ayal, korban pun berjatuhan secara beruntun dari mulai pemukulan sampai menimbulkan percikan darah. Di Bandung, misalnya, sebagian pelajar ikut bergabung dengan Geng Motor yang selalu menjadi keresahan warga/masyarakat dengan aksi brutalnya. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kekerasan di tingkat pelajar masih tinggi, sehingga perlu ada suatu upaya atau solusi untuk memecahkan persoalan tersebut, salah satu diantaranya adalah pendidikan karakter.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi otonom Muhammadiyah perlu menciptakan gagasan-gagasan pemikiran perkaderan yang selama ini cenderung kekakuan dalam dunia perkaderan, dan disatu sisi ada semacam ke-amburadul-an dalam me-manage perkaderan. Yang pertama, ke-kaku-an terjadi karena cenderung terbelenggu oleh aspek yang sifatnya procedural sehingga ruang gerak pengader menjadi sempit dan pada gilirannya akan menghambat laju pertumbuhan kader, hal seperti ini mesti disikapi secara fleksibel dan arif. Dan yang kedua adalah ke-amburadul-an dalam me-manage perkaderan biasanya berkisar pada persoalan profesionalisme dan tanggung jawab para pengader.
Ada beberapa pertanyaan yang mesti diajukan sebelum memulai renovasi perkaderan di tubuh IPM, diantaranya : apakah Taruna Melati I, II, III, dan TMU masih sesuai dengan kebutuhan pelajar hari ini? Apakah manfaat yang didapat jika pelajar mengikuti perkaderan yang diadakan oleh PW IPM Jabar? Atau apa untungnya menjadi kader IPM? Pertanyaan barusan harus menjadi catatan penting kala saat ini IPM memerlukan eksistensi dan kualitas kader dalam upaya mewujudkan tujuan organisasi. Inilah kebutuhan IPM saat ini, kala IPM dijadikan sebagai alat atau panggung politik dengan kekuasaan individu yang tak terkendali, yang bisa jadi hal itu sangat merugikan IPM.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terjadi pergeseran tradisi (cara pandang terhadap masa lalu, kini dan akan datang) yang sangat dipengaruhi oleh 2 faktor yakni liberalisasi wacana dan alur kesejarahan yang melingkupi. Dimana faktor pertama, liberalisasi wacana merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, karena dipengaruhi oleh cara pandang yang semakin beragam guna menyikapi ruang keterbukaan yang semakin luas (kebebasan berpikir), sehingga akan ada kecendrungan bahwa suatu gerakan akan dapat mempertahankan dirinya (tetap eksis) jika menemukan sebentuk cara berpikir baru hasil dari persentuhan antara tradisi berpikir kemarin dan hari ini, dan faktor kedua, alur kesejarahan yang melingkupi adalah menyangkut pada perubahan orientasi dari semua gerakan yang pro perubahan, dimana dominasi wilayah politik-struktural yang menjadi mainstream gerakan pada saat ini tidak lagi efektif untuk dijadikan arah gerak, melainkan pada wilayah social-kultural.

Paradigma Berpikir Kritis IPM
Berpikir kritis merupakan suatu proses upaya pewarisan nilai-nilai yang sering disebut proses transformasi yang menyangkup segala aspek “yang seharusnya” tetapi di sisi lain hanya melangsungkan proses pada satu sisi saja, itulah yang di khawatirkan dalam proses berpikir. Kesadaran ini mengilhami IPM dalam melaksanakan proses perkaderannya, dimana berpikir kritis menjadi acuan dalam palaksanaan perkaderan. Kalau melihat secara fitrah, manusia diciptakan dengan keadaan suci, sehingga untuk mengembangkannya memerlukan pendidikan, baik formal maupun non formal. Dengan mengenyam pendidikan setidaknya manusia, dalam hal ini kader IPM bisa hidup lebih survive dalam menghadapi realitas kekinian.
Pendidikan merupakan usaha agar seorang manusia dapat mengambangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran melalui berbagai cara baik itu pendidikan formal, pendidikan informal maupun non formal. Pergaulan dalam pendidikan sendiri perlu adanya acuan dan arahan yang jelas agar dapat memfungsikan ilmu yang didapat dari pendidikanya..Islam sebagai agama sekaligus sebagai acuan untuk anutan dengan berpijak pada Al Quran dan al Hadits juga perlu memberikan kontribusi kepada pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai aturan islam. Pendidikan nasional sendiri berfungsi sebagai pengembangan kemampuan dan pembentuk watak serta peradaban bangsa yang bermaratabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sesuai dengan tujuannya.
Dalam praktiknya agama sendiri merupakan keyakinan (belief) dogma tradisi, praktik dan ritual. Dengan realitas tersebut doktrin dan berbagai warisan ajaran tersebut sangat riskan bila dikaitkan dengan hubungan sosial keagamaan di negara majemuk ini dan bisa-bisa menjadi biang keladi masalah baru, dan ini juga tergantung orang yang memahami keagamaan apakan secara sempit atau secara luas (holistik). Islam mengajarkan konsep universalitas untuk terbuka terhadap segala hal, dalam bidang pendidikan perlunya penguatan kembali nilai-nilai islam dan perlunya rekonstruksi paradigma kritis-inovatif upaya menegaskan harmonisasi dan dialog.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan pelajar Islam, tentunya memiliki otentikasi tersendiri dalam memahami Islam sebagai konstruksi sosial, Islam sebagai gerakan moral, dan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Hal ini sudah menjadi watak bagi IPM dalam memahami realitas kemanusiaan (humanity) atas tafsir dari manifestasi Al-Quran dan Hadits. Pedoman inilah yang akan menjadi bekal dan landasan gerak IPM dalam menjalankan roda organisasi yang bersifat pada kritisisme gerakan dan berpikir kritis IPM.

Mewujudkan Human Character dalam Perkaderan
Orientasi dari Kementerian Pendidikan Nasional di bawah komando Prof Nuh kepada pendidikan karakter agaknya sudah tepat, karena problem utama bangsa Indonesia sekarang ini pada hakikatnya bukanlah soal intelektual, melainkan moral yang berpangkal pada karakter. Soal intelektual tidaklah perlu terlalu diperdebatkan dalam ruang yang panjang, karena hampir setiap tahunnya, Indonesia memiliki para pejuang baru dalam memperebutkan medali olimpiade, baik kimia, fisika, matematika, maupun olimpiade yang lainnya. Namun, yang perlu diperhatikan secara lebih serius adalah problem moral, seperti korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, kriminalitas, dan bahkan terorisme.
Satu contoh riil dari kurikulum misalnya adalah ketika siswa belajar menyontek di sekolah, belajar tidak jujur, dan bahkan mahasiswa belajar korupsi di kampus. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa kultur yang berlaku di sekolah dan kampus, baik dalam komunikasi, interaksi, cara menyikapi aturan birokrasi dan lainnya itulah kurikulum tersembunyi yang turut membentuk nalar pikir dan sikap pelajar.
Di sinilah mestinya, upaya untuk membangun karakter pelajar, dalam rangka mereduksi problem sosial (misal: korupsi, terorisme, ketidakjujuran, pornoaksi) lebih berdasar. Pedagogi kritik memang identik dengan gagasan Freire, Apple, McLaren, Giroux dan kawan-kawannya di Barat. Namun bukan berarti di Indonesia tidak terdapat gagasan dan praksis pedagogi kritis. Setidaknya dengan membuka kembali literatur Tan Malaka dengan Sekolah Rakjatnya di Semarang, juga Ki Hadjar dengan Taman Siswa di Yogyakarta, adalah bentuk gagasan dan praksis pendidikan kritis pada waktu itu. Bahkan jauh sebelum Freire mempraktikkan dan menuliskan Pedagogy of the Opressed (1970). Tentu saja konteks, nuansa, dan dasar filosofinya berbeda, namun bagi saya tetap dalam satu karakter yang sama: kritis dengan tujuan utama adalah untuk menumbuhkan kesadaran kritis pada pelajar. Tentunya, folosofi ini menjadi mainstream gerakan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Dalam konteks problem moral di sini, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa di sekolah, kampus, media, masyarakat dan bahkan keluarga seringkali terjadi praktik penanaman nilai-nilai ketidakjujuran, korupsi dsb. Hal tersebut kemudian perlu dilanjutkan dengan upaya membangun kesadaran ada diri pelajar untuk dapat melihat dan menilai secara kritis atas korupsi dan problem sosial sejenisnya. Dua kata kunci yang digunakan dalam pedagogi kritis untuk membangun kesadaran kritis diri tersebut adalah dialog dan pelibatan sosial, bukan indoktrinasi ideologis. Dengan pendekatan ini, maka diharapkan kesadaran untuk menolak nalar dan praktik korupsi misalnya, muncul dari dirinya sendiri. Hal ini tentu justru lebih kuat sebagai basis argumentasi dan alasan untuk menolak korupsi, tidak jujur, terorisme dan lainnya.
Dengan pedagogi kritis, dialog yang demokratis dan kritis digunakan untuk mengasah nalar kritis pelajar, sedangkan pelibatan sosial digunakan sebagai penguat argumentasi dengan melihat fakta-fakta sosio-kultural akibat dari korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, dan sejenisnya yang nyata. Selain itu, karakter (berupa nalar pikir, sikap dan aksi seseorang) pada dasarnya memang lebih mudah dibangun dengan aksi nyata, dalam pedagogi kritis adalah pelibatan sosial, bukan semata-mata dengan cara belajar di kelas. Satu prinsip pedagogi kritis dari Freire, Ki Hadjar dan Tan Malaka yang harus digunakan adalah: jangan mencerabut pelajar dari kehidupan rakyatnya, masyarakatnya.
Dengan kata lain sekolah pun jangan dianggap sebagai institusi sosial yang terlepas dari masyarakat. Di sinilah juga pertanyaan mengenai apa dasar sosio-kultural-ideologis pendidikan karakter terjawab, yakni dasarnya adalah kondisi dan fakta sosial, kultural, dan ideologis yang berlangsung di masyarakat itu sendiri. memang tidak dapat dipungkiri bahwa juga terdapat fakta juga dari pernyataan bahwa korupsi telah menjadi kultur di masyarakat. Justru karena itu, nalar kritis dari pedagogi kritis harus dikedepankan sebagai pisau analisis untuk menilai semua fakta sosial, kultural, dan ideologi di masyarakat; siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, apa akibatnya secara psikologis, sosiologis, kultural, ekonomi, politik dan lainnya.
Dengan begitu kesadaran kritis pelajar akan terbangun dari dalam diri mereka sendiri, karena mereka belajar dari fakta yang riil, dari kehidupan yang mereka turut terlibat dan punya kepentingan di dalamnya secara nyata. Tanpa pedagogi kritis yang fokus pada upaya membangun kesadaran kritis pelajar, maka kemungkinan besar upaya pendidikan karakter hanya menjadi slogan, jargon, dan doktrin besar, tapi minim bukti nyata.
Kembali pada konsepsi bagaimana mambangun perkaderan dengan mangutamakan nilai dalam kehidupan. Setidaknya, IPM harus memiliki tiga kata kunci dalam rencana strategis perkaderan (suatu usaha dalam mewujudkan Human Character) tersebut: pelaku gerakan; ideologi gerakan Muhammadiyah; dan sistem kaderisasi. Khusus yang diistilahkan dengan  ”pelaku gerakan” cakupan subjeknya terdiri dari: pemimpin, kader, dan anggota. Dalam ruang lingkup dan dinamika gerakan IPM, maka secara organisatoris ketiga subjek tersebut saling membutuhkan dan pengaruh-mempengaruhi. Misalnya, seorang pemimpin pasti membutuhkan anggota, baik sebagai  basis legitimasi kepemimpinan maupun  untuk kepentingan pelibatan mereka dalam berbagai program dan agenda kerja yang sudah dirancang. Terlebih lagi posisi kader, maka keberadaannya juga lebih strategis dan menentukan bagi bagi kemajuan organisasi. Nilai lebih ini karena kader menempati posisi signifikan di antara pemimpin dan anggota: sebagai tenaga pendukung tugas pemimpin serta menjadi penggerak dan pendinamis aktivitas partisipatif anggota/warga.
Secara etimologis, kader (bahasa Perancis: cadre) merupakan bagian inti, pusat atau bagian terpilih yang terlatih. Dalam bahasa Latin adalah quadrum, yang berarti empat persegi panjang, bujur sangkar atau kerangka yang kokoh. Dengan demikian kader merupakan kelompok elite strategis dan terlatih yang samapta dengan kecakapan, kualifikasi dan nilai-nilai lebih yang harus dimilikinya.
Untuk menjadi kader seperti dalam pengertiannya tadi tentu tidak bisa terwujud secara instant dan begitu saja. Terbentuknya sosok kader seperti itu adalah melalui penempaan dalam latihan dan proses didik diri yang berkelanjutan di tempat perkaderan, baik yang dikategorikan sebagai perkaderan utama maupun fungsional. Forum perkaderan sebagai wahana didik yang intensif, bisa dijadikan ajang untuk menyeleksi kader dalam kualitas dan kualifikasinya, termasuk untuk menilai potensi  dan kapasitas kepemimpinannya, katakanlah dengan mengadakan pelatihan Taruna Melati I, II, II, dan TM Utama, maupun fasilitator. Dengan begitu, intensitas kaderisasi yang dilakukan oleh IPM menjadi berbobot untuk menciptakan kader yang berkualitas.
Kader yang berkualitas dan proses kaderisasi yang mapan melahirkan regenerasi dan alih estafeta kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Sekaligus dengan upaya itu pula regenerasi yang bertumpu pada kaderisasi dapat menjamin kesinambungan dan pengembangan organisasi di masa depan secara dinamis, sesuai dengan ideologi dan identitasnya yang dikontekstualisasikan untuk menjawab tuntutan dan perubahan zaman.
Kebutuhan akan sosok kader dan pemimpin yang amanah dan cakap serta model kepemimpinan yang responsif dan  partisipatoris, bukan saja karena kebutuhan intern IPM. Berbagai tantangan juga tidak lepas dari konstelasi dinamis dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa saat ini IPM membutuhkan kaderisasi dengan konsep Human Character. Konsep tersebut sangat tepat, yakni sesuai dengan tujuan IPM. Dengan melihat kondisi internal dan gejolak pelajar saat ini, maka salah satu solusi untuk mengantisipasi terjadinya degradasi moral secara massif, perlu melakukan suatu usaha yang benar-benar konsisten dan fokus pada pencapaian orientasi nilai-nilai pembaharu kader Muhammadiyah, tentunya dengan memanfaatkan pelatihan-pelatihan formal maupun non formal dalam membentuk pemikiran kritis dan manusia yang berkarakter.

Peran Kaum Muda Jawa Barat


Kebangkitan Kaum Muda atau Ancaman Krisis Kaum Muda Jawa Barat
Oleh Neni Nur Hayati
Mahasiswi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati

    KAUM muda (pemuda) adalah generasi bangsa yang memiliki karakter khas dan tidak dapat dielakkan. Karakter yang dimaksud adalah kekuatan tekad, kreativitas pikiran sekaligus rasional, dan berjiwa kritis-revolusioner. Patut diakui pula kalau kaum muda memiliki banyak potensi dalam dirinya. Sejarah mencatat banyak fakta yang ditorehkan kaum muda. Seperti peristiwa demonstrasi 1966 yang dikenal dengan tritura (tiga tuntutan rakyat) yang berisi; turunkan harga, bubarkan PKI, dan jalankan UUD 45 dan pancasila secara murni dan konsisten. Tahun 1974 muncul peristiwa malari; aksi penolakan terhadap masuknya produk asing ke dalam negeri. Yang terhangat adalah tahun 1998 bergulirnya orde reformasi.
Maka tidak heran jika hari ini tema kepemimpinan kaum muda begitu asyik diperbincangkan. Mulai dari politisi, akademisi, sampai praktisi ikut membahas isu yang satu ini. Meningkatnya harapan akan kemunculan pemimpin muda, dengan sendirinya menghadirkan sikap kompetitif antara kaum muda dalam mengejar tahta kekuasaan. Selain dapat dijadikan sebagai bahan kebanggaan, hal ini patut pula untuk diwaspadai. Karena tidak menutup kemungkinan isu tadi menjadi “magnet” penarik minat kaum muda untuk berbondong-bondong terjun ke ranah politik.
      Kekhawatiran penulis muncul seiring tumbuhnya arus yang mengarahkan kaum muda ke ranah politik. Terbukanya kesempatan legislative yang dipilih langsung oleh rakyat secara terbuka. Menarik banyak aktivis muda kearah sana.. Mahasiswa, pengusaha, sampai artis berkantong tebal berduyun mendaftarkan diri. Benar kiranya apa kata beberapa pakar keilmuan. Bahwa satu-satunya perkara yang tidak membutuhkan dukungan keilmuan yang mumpuni adalah politik. Siapa banyak duit, sanggup membayar cost politic yang tidak murah. Ia bisa jadi pejabat meski tidak didukung dengan keilmuan yang mumpuni di bidangnya
Terkait dengan hal tersebut , Jawa Barat (Jabar), memiliki banyak pemuda dengan karakter yang telah disebutkan di atas. Yakni bertekad kuat, kreativitas pikiran sekaligus rasional, dan berjiwa kritis-revolusioner. Betapa tidak? Karena sumbangsih prestasi para pemuda Jabar begitu besar dalam mengharumkan nama baik Jabar. Baik yang diakui oleh masyarakat lokal, nasional, bahkan internasional.
Prestasi yang diukir melalui kepiawaian di dunia olah raga, sains dan teknologi, seni, dan politik selama ini. Boleh jadi suatu bentuk perwujudan dari kebesaran tekad, kreativitas pikiran, dan jiwa kritis-revolusioner yang dimiliki para pemuda. Di bidang olah raga, anak muda Jabar berhasil mengangkat nama baik tim voly ball, atlet pacuan kuda, beladiri, sampai pemanah ke level nasional bahkan internasional.
Begitu juga dibidang seni, Jabar tidak henti-hentinya melahirkan musisi dengan kualitas tinggi. Peterpan dan The Cangchuters patut dijadikan sebagai contoh. Selain musisi, Jabar memiliki sastrawan terkemuka yang dari tahun ke tahun silih berganti generasi. Dari kalangan tua kita memiliki sastrawan setingkat Ajip Rosidi, Ahdiat C Miharja, dan Memed sebagai ikon penyair yang menorehkan nama besar hingga manca Negara. Kini generasi itu digantikan oleh sederet nama dari kalangan muda seperti Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, dan Dipa Galuh Purba. 
Nah, supaya segudang prestasi yang disebutkan tidak mengalami kemunduran, selain perlu dipertahankan secara individual, juga perlu campur tangan pemerintah. Artinya pemerintah Jawa Barat perlu memperhatikan regenerasi yang siap melanjutkan prestasi yang telah diraih. Terpenting, pendampingan dan pembinaan kaum muda supaya talenta mereka lebih terarah dan terjauhkan dari hal-hal yang tidak diharapkan, negatif. Sebab bisa saja yang awalnya begitu dibanggakan dan diharapkan keberadaannya justru malah menjadi boomerang yang mencemarkan nama baik Jabar. Keberadaannya pun jadi tidak diharapkan.
SEANDAINYA boleh berangan-angan, alangkah indahnya apabila setiap prestasi yang diraih dan perkembangan talenta pemuda berpadu dengan moralitas positif secara harmonis. Dalam arti, setiap kemampuan, kreativitas pikiran, dan jiwa kritis-revolusioner setiap pemuda dilengkapi dengan sikap peduli akan kearifan terhadap diri pribadi, lingkungan, sosial, politik, pendidikan, dan seni-budaya.
 Jika terwujud, maka tidak akan pernah terdengar kabar miring yang amat memalukan. Di mana Jabar termasuk dalam daftar tempat peredaran barang haram (baca: Narkoba) terbesar di Indonesia. Contoh terhangat adalah di Indramayu yang ditemukannya jasad beberapa pemuda terkujur kaku sebab nyawanya direnggut miras. Kematian mereka pun sia-sia hanya karena pesta yang berlebihan.
Kasus di atas kiranya cukup sebagai indikasi bahwa kabar mengenai Jabar sebagai wilayah tempat peredaran barang haram terbesar itu benar adanya. Hal ini sedikitnya mencirikan bahwa pemerintah Jawa Barat belum maksimal dalam memeratakan tarap pendidikan warganya. Di sini penulis berasumsi bahwa para korban miras di Indramayu termasuk masyarakat berpendidikan rendah. Sehingga tidak berpikir panjang untuk berhati-hati disebabkan oleh ketidak tahuan korban akan zat kimia bila masuk ke dalam perut. Seperti Autan yang semestinya dioles di kulit malah diminum sebagai bahan oplosan miras.
Contoh ini hanyalah sebagian kecil yang mencemarkan nama baik Jabar. Meski kecil bukan berarti boleh dibiarkan begitu saja. Sebab dari yang kecil itulah kasus yang lebih besar akan muncul dan lebih memalukan lagi. Maka untuk membendungnya, pemerintah Jabar mesti bertindak tegas dan tanpa kompromi terhadap segala macam bentuk narkoba juga mengupayakan terbentuknya konvergensi talenta pemuda dengan moral sekaligus.
Gerbang awal untuk mewujudkan konvergensi talenta dan moral dapat dimulai sengan melakukan “sumpah kaum muda”. Dalam arti, karena Jabar merupakan wilayah yang dipimpin oleh kaum –relatif— muda, pemerintah harus siap memimpin warganya untuk bersumpah dalam arti menumbuhkan tekad yang kuat untuk melepaskan diri dari segala belenggu yang dapat menghancurkan potensi diri. Memerangi tawaran kenikmatan barang haram (narkoba) adalah yang paling penting. Karena barang haram itulah pemicu hilangnya rasa kepedulian diri akan lingkungan dan hubungan sosial lebih luasnya.
Sumpah kaum muda Jabar perlu dilakukan untuk mengadopsi spirit sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang menghasilkan kesatuan tekad pemuda Indonesia untuk keluar dari berbagai macam bentuk penjajahan. Hebatnya, spirit sumpah kaum muda waktu itu (28 Oktober 1928) sekaligus memborkar skat-skat etnis, ras, agama dan bahkan budaya sekalipun.
Spirit sumpah kaum muda itu kiranya dapat kita transform ke bentuk lain dengan esensi yang sama, memerangi berbagai ragam penjajahan yang membelenggu diri dan membahayakan lingkungan sekitar. Penjajah yang mesti diperangi adalah sifat serakah yang selalu ingin menguasai sesuatu yang bukan haknya. Seperti penyalahgunaan fungsi miras, memakan uang rakyat (Korupsi), menjual ruang hijau demi sekantung uang, menimbun beras subsidi dan lain sebagainya.
Peran pemuda untuk membangun Jawa Barat di antaranya dapat diaktualisasikan melalui organisasi kepemudaan. Selain menjadi sarana pembelajaran dalam bermasyarakat, organisasi kepemudaan tersebut bisa menjadi wadah untuk memberikan kontribusi dalam membangun daerah. Hal itu dikemukakan Kepala Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Bekasi, Edi Rochyadi ”Saatnya pemuda bangkit dan mengambil peran penting demi membangun dan memajukan Jabar," ucapnya.Dia menjelaskan, keberadaan organisasi kepemudaan dinilai semakin penting terutama di tengah era globalisasi ini.
Dengan kita melihat peran pemuda terutama di bidang seni dan budaya daerah sudah mulai luntur. Hal tersebut dikarenakan banyak di antara mereka yang meniru gaya  kebarat-baratan daripada merasa bangga dengan kebudayaannya sendiri seperti jaipong dan angklung. Ini mengakibatkan gempuran budaya Barat yang menampilkan hedonisme dan materialisme di balik kemajuan teknologi informasi, menjadikan masyarakat Jabar secara tidak sadar berpaling dari kebudayaannya.
            Melihat realita tersebut, peran organisasi pemuda haruslah  lebih nyata. Karena dengan adanya realita pada hari ini sunggulah sangat mengkhawatirkan. Misalnya saja apresiasi terhadap seni-seni tradisional, nyaris sudah tidak ada lagi. Membangun pemuda Jabar melalui organisasi kepemudaan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) akan menjadi komitmen bersama untuk sama-sama membenahi sumber daya manusia yang ada pada hari ini.            
             Perlu diakui atau tidak, saat ini perlu ada adanya komitmen yang sangat kuat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada semua aspek dan aspek yang paling utama adalah pendidikan dan keterampilan. Kemudian jika hal  ini terus dikembangkan, sangatlah potensial. Apalagi dengan melihat Provinsi Jawa Barat secara geografis sangat dekat dengan Jakarta sebagai ibu kota negara, dengan segala macam aksesnya,.